Senin, 07 Maret 2011

Bangsa yang paling pintar di dunia

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kuliah yang menarik dari dosen saya.

Beliau mengatakan:
"Bangsa yang paling pintar di dunia ini, menurut kitab Al-Qur'an maupun Injil adalah Bangsa Yahudi"
Sampai sekarang, tidak ada hasil penelitian yang memastikan kenapa bisa begitu. Mungkin ini memang kehendak Yang Maha Kuasa dan memang sudah takdirnya lah dijadikan Tuhan seperti itu. Maka dari itu, tidak heran kalau Agen Federal yang paling canggih dan banyak dijadikan contoh bagi negara-negara lain adalah Agen Mossad. Bahkan negara Amerika pun berguru pada Israel untuk hal ini.

Dan seperti yang kita ketahui, banyak orang yahudi dan keturunannya yang tinggal di Amerika. Tak ayal bahwa Amerika menjadi negara super power yang banyak disegani oleh negara lain. Banyak penemu yang berasal dari keturunan yahudi di Amerika. Bahkan konon, Einsten juga adalah salah satu keturunan yahudi. Jadi, tidak mengherankan kalau Amerika adalah bangsa yang besar dan kuat. Baik secara finansial, teknologi, dan pertahanannya. Bahkan bisa dikatakan, kalau Amerika sudah maju hampir disemua aspek.

Dan hal inilah yang telah dipelajari oleh Jepang. Mereka sudah menyadari sedari dahulu dan belajar bahwa mereka tidak akan mampu menyaingi Yahudi maupun Amerika. Bangsa Jepang terus melakukan perubahan dan belajar. Awalnya mereka mencoba meniru barang-barang yang dibuat oleh bangsa barat. Mereka belajar, belajar, dan terus belajar bagaimana menciptakan barang seperti yang ditemukan oleh bangsa barat. Setelah mereka berhasil menciptakan hal yang sama, maka mereka beralih mencoba untuk bereksperimen dan berinovasi dari sesuatu yang telah mereka tiru.

Sampai sekarang, Bangsa Jepang terus belajar bagaimana berinovasi dari sesuatu yang dulunya telah diciptakan oleh bangsa barat. Tidak heran bahwa kini Jepang menjadi negara yang sangat produktif dalam menciptakan teknologi baru. Dan bahkan sebagian produk mereka telah mampu merajai pasar Amerika. contohnya saja produk otomotif mereka. Sekarang ini, masyarakat Amerika cenderung lebih suka memakai Toyota daripada Ford. Selain karena harganya yang lebih murah, desain yang lebih menarik, teknologinyapun sudah sangat baik. Singkat kata, Murah dan Berkualitas.

Intinya, Bangsa Jepang tahu bahwa mereka tidak akan bisa menjadi apalagi mengungguli Yahudi ataupun Amerika, maka daripada itu, mereka belajar untuk menjadi "MIRIP" seperti kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang berusaha menjadi mirip seperti bangsa yang pintar agar mereka juga bisa disebut pintar.

Untuk itu, sebagai generasi penerus Indonesia. Sebaiknya kita belajar dari apa yang telah dilakukan Bangsa Jepang. Untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih baik lagi, kita diharuskan untuk terus belajar. Jangan pernah lelah untuk belajar. Lalu persembahkan yang terbaik untuk negara ini. Toh, belajar juga bukan sesuatu yang merugikan untuk dilakukan. Yang mendapatkan manfaatnya juga adalah diri kita sendiri.

My Lovely Bodyguard Part 1


Bab: satu

Aku melirik dashboard, jam digital menunjukkan pukul 7.12 p.m. Kulirik sekali lagi, tetap saja angka yang terlihat menujukkan pukul 7 lebih sedikit. Ini baru pukul 7, tapi di luar jendela, langit Kota New York sudah terlihat sangat gelap.
Kuperlambat laju mobilku. Aku mencoba berkonsentrasi untuk mengingat jalan mana yang telah ku lewati beberapa menit yang lalu. Tapi, semakin lama, aku semakin merasa asing dengan jalanan yang terlihat didepanku. Dan setelah 30 menit berputar-putar, sadarlah aku kalau aku telah tersesat. Rasa cemas dan panik mulai terasa, begitu juga dengan kupu-kupu yang kini mulai beterbangan di perutku.
‘Aduh,’ gumamku.
Great, di saat-saat genting seperti ini aku malah kebelet ingin ke kamar mandi.
‘Sial, sial, sial.’

Pikiranku mencoba mengingat kejadian tadi pagi.
Sasha, teman akrabku yang tinggal di Indonesia menelepon dan mengatakan kalau dia sedang berada di New York. Dia menginap di rumah bibinya dan memintaku mengantarnya keliling Kota New York. Dengan sok tahu aku pergi menjemputnya dan membawanya mengitari kota New York, berlagak seperti aku sudah mengenal kota ini dengan baik padahal aku baru pindah ke New York tiga hari yang lalu.
Bisa sampai di rumah bibinya merupakan keajaiban yang pertama, dan pergi berkeliling Kota New York bersama Sasha—dengan selamat dan tanpa tersesat—juga merupakan keajaiban yang kedua. Tapi sepertinya keajaiban hanya terjadi dua kali karena setelah mengantar Sasha kembali ke rumah bibinya, aku tersesat. Sempat terbesit ingin menelepon Sasha, tapi itu sebelum rasa gengsi muncul. Dan hasilnya, malu bertanya sesat di jalan.

Kembali aku memfokuskan diri dengan jalanan sekitar. Mencari tempat restoran atau apapun yang menyediakan toilet. Aku yakin aku takkan bisa bertahan lama menahan pipis. Tanpa sadar kepalaku bergerak ke kiri dan ke kanan, sepertinya ototku sudah digerakkan dengan desakan hasrat ke toilet. Tapi, tak ada satupun tempat yang ku maksud.
Terlalu lama menahan pipis, perutku kini mulai sakit. Aku mulai panik. Tanpa sadar, instingku mulai berkerja, aku memutar, berbelok ke kanan, ke kiri, dan ntah sudah berapa tikungan yang telah aku lewati. Aku tidak peduli, ku percepat laju mobilku. Mobilku berlari tanpa tujuan, sampai aku melihat bangunan itu..
Syukurlah, ada sebuah sekolah di sisi kiri jalan ini.
‘Terima kasih Tuhan akhirnya aku menemukan.. tunggu, aku kan bukan murid di sekolah ini?’ sedikit terbersit rasa keraguan, tapi..
‘Ah sudahlah, kupikirkan nanti saja. Lebih baik ku coba saja dulu.’
Mobilku memasuki halaman sekolah itu. Pintu gerbangnya terbuka lebar. Aku melihat ada dua orang security berjaga tidak jauh dari gerbang. Salah satu dari mereka keluar dan mengikuti mobilku sampai ke parkiran. Semenit setelah aku keluar dari mobil, security itu sudah berdiri didepanku.
“Permisi, Miss. Ada keperluan apa Anda kemari?” tanya security itu. Suaranya berat, dia pastilah perokok berat.
“Aku dalam keadaan darurat, bisakah aku menggunakan toiletnya?”
Dia tersenyum melihatku yang terus mengayunkan badan ke kiri dan ke kanan. “Tapi, Miss, orang luar dilarang memasuki gedung tanpa seizin pihak sekolah,” dia menarik nafas sebentar, “lagipula ini sudah larut malam.” Sambungnya. Dia mengatakannya masih dengan tersenyum.
Rasa sakit di perutku semakin menjadi-jadi. Oke. Cukup sudah.  Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Dia mengatakannya dengan tersenyum, itu berarti segalanya masih bisa dinegosiasikan. Ku keluarkan uang sepuluh dolar dari dompet dan buru-buru menyodorkannya.
“Well, kalau begitu mungkin...”
“Dimana letak toiletnya?” sambungku buru-buru. Alarm di otakku sudah bernyayi.
“Lantai 1, belokan kedua sebelah kiri.”
***
Sekolah ini SANGAT bagus. WILLIAMS SENIOR HIGH SCHOOL. Begitu yang aku baca di papan yang terlihat ketika memasuki halaman tadi. Sesuai dengan arahan security tadi, aku dengan mudah dapat menemukan toilet yang dimaksud.
Aku terperanjat ketika melihat keadaan toiletnya. ‘Gila.!’  ini pastilah sekolat elite. Toiletnya saja seperti toilet-toilet seperti yang kulihat di hotel mewah. Kaca super besar, wastafel berlapis marmer, dan bahkan ada sofa besar di dalamnya. Benar-benar sulit dipercaya.
‘Ku harap Dad mendaftarkanku ke sekolah ini!’
Setelah selesai dari toilet, aku bergegas keluar dari sekolah ini. Tak lama berjalan, kesialan ketiga datang.
‘Shit!’ bajuku terselip dipegangan pintu. ‘Lihat kemana, sih, aku tadi?’ umpatku dalam hati. Kucoba segala cara untuk melepaskan baju sialan itu dari pegangan pintu. Ku tarik dengan kuat. Hasilnya, nihil.
“Bagaimana transaksinya? Jadikah?” terdengar suara dari balik pintu. Mau tidak mau, aku mendengarnya dengan jelas.
“Tentu, mereka akan datang pukul 11 p.m nanti.” Sepertinya ada dua orang dibalik pintu.
“Berarti kurang lebih tiga jam lagi. Kalau begitu segera siapkan uangnya. Dan pastikan mereka membawa heroin itu dengan jumlah yang benar sebelum kau memberikan uangnya.”
‘Apa? Heroin? Ada apa ini?’
“Di mana tempat transaksinya, Bos?”
“Dibelakang gedung sekolah, seperti biasa. Ingat, urus para security itu agar tidak berjaga di belakang sekolah. Alihkan perhatian mereka. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini!” Nadanya terdengar memerintah.
“Oke.”
Terdengar suara derap langkah menuju pintu. Dengan panik kutarik bajuku sampai robek kemudian lari.
‘Apa yang harus aku lakukan?’ aku berpikir keras.
‘Ini tindakan kriminal. Haruskah aku mengatakannya pada para penjaga tadi?’ aku berjalan menuju parkiran.
‘Ya, mereka harus tahu. Tapi.. tunggu, kalau aku mengatakan hal ini pada mereka, mereka pasti akan langsung menangkap kedua orang tersebut. Transaksi itu akan batal dilakukan, tidak akan ada barang bukti.’ Aku menghela nafas.
‘Kalau aku menceritakannya pada penjaga-penjaga itu, mereka akan mengenali wajahku. Siapa tahu salah satu dari mereka juga terlibat akan hal ini?’ aku tergidik ngeri.
‘Lalu, kemana aku akan pergi? Apa aku harus melupakan percakapan yang aku dengar tadi?’
Rasa keadilanku mulai berontak. ‘Tidak, aku harus melakukan sesuatu.’
Aku sudah sampai di parkiran. Dengan cepat aku masuk dan menghidupkan mesin mobil. Dan lalu, ide itu muncul begitu saja...
‘Kantor polisi. Ya, aku harus kesana.’
Aku mengendarai mobil seperti orang gila. Tidak menghiraukan para penjaga yang terlihat bingung karena tingkahku yang mengendarai mobil ugal-ugalan. Sama seperti tadi, tubuhku kini digerakkan oleh insting, aku berada di daerah yang tidak ku kenal tapi tangan dan kakiku mengendarai mobil seakan-akan aku sudah mengenal daerah ini dengan baik. Dan dengan ajaib, aku sampai di kantor polisi. Keajaibanku yang ketiga.
Sesampainya di kantor polisi, tanpa pikir panjang aku langsung menceritakan segala yang aku dengar tadi dengan polisi yang pertama kali menyambutku. Setelah mendengar semua, dia menatapku sejenak, lalu menyuruhku mengikutinya. Kami berjalan ke sebuah ruangan. Di depan pintu, dua orang polisi sedang berjaga.
“Mereka sedang rapat.” Kata yang satu.
“Ada hal yang perlu mereka dengar.” Jawab polisi yang membawaku kesini. “Secepatnya.”
Kedua penjaga saling menatap, kemudian beralih melihat ke arahku.
“Masuklah.” Pria penjaga itu kemudian membukakan pintunya. Kami berduapun masuk.
Ruangan yang kami masuki seperti ruang rapat. Meja panjang berwarna hitam mengkilat dengan banyak kursi di sisi kiri dan kanannya. Di ruangan itu hanya ada tiga orang. Dua orang polisi berpenampilan militer dengan seragam yang penuh dengan berbagai lencana tersemat di dadanya, seorang pria paruh baya berperawakan tegap—pasti dia rajin berolahraga—yang memakai pakaian yang sama sekali—aku yakin itu—bukan seragam polisi, dia memakai kemeja putih, jas dan celana panjang linen hitam. Dan kami berdua (aku dan polisi yang membawaku kesini).
Percakapan mereka berhenti ketika melihat kami memasuki ruangan. Polisi yang bersamaku tadi berbisik pada salah seorang pria yang memakai pakaian militer, setelah pria itu mengangguk tanda mengerti, sang polisi tadi keluar. Meninggalkan aku sendiri dengan ketiga pria yang.. membuat jantungku berdegup kencang karena ketakutan.
“Duduklah, Miss...” kata si pria berpakaian militer itu. Dia mengatakannya dengan ramah dan juga tegas.
“Dingell, Clarissa Dingell.” Sahutku. Aku memilih duduk berseberangan dengan mereka. Kami kini saling berhadapan.
“Baiklah, Miss Dingell. Saya dengar dari Opsir Green, Anda mengalami kejadian luar biasa dan merasa harus segera melaporkannya kepada kami.”
“Well, aku rasa ini bukan suatu hal yang... luar biasa.” Aku mengernyit.
“Kalau begitu, mau kah kau menceritakannya kepada kami, Miss Dingell. Lalu kami akan menilai apakah ini hal yang luar biasa atau tidak.”
“Kejadiannya dimulai ketika aku tersesat di daerah..erm dimana ya, aku juga tidak tau dimana aku tadi. Aku berjalan berputar-putar—mengendarai mobil, tentunya—dan aku singgah di sebuah sekolah—kalau tidak salah Wiiliams Senior High School—karena merasa harus segera ke toilet.” Aku merasa pipiku memanas,
“Dalam perjalanan keluar gedung, secara tak sengaja aku mendengar dua orang sedang berbincang. Aku tidak bisa melihat mereka. Mereka ada di dalam ruangan, jadi aku hanya bisa mendengarnya. Mereka mengatakan akan ada transaksi di halaman belakang sekolah itu.”
“Bisa kau ceritakan dengan lebih jelas lagi? Apa tepatnya yang mereka katakan?” kali ini yang bertanya seorang pria yang tidak berpakaian militer.
“Erm, aku tidak ingat pasti, tapi yang kuingat jelas seseorang mengatakan bahwa pada pukul 11 p.m akan ada transaksi. Mereka berniat membeli heroin dan sudah menyiapkan uangnya. Dan seseorang yang di panggil ‘bos’ mengatakan bahwa tempat transaksinya ada di tempat biasa, di halaman belakang sekolah.”
Setelah menunggu agak lama, akhirnya salah seorang dari mereka bersuara.
“Hmm.. apakah ini ada hubungannya dengan mereka?” tanya si pria yang berpakaian militer pada si pria yang mengenakan jas.
“Ntahlah, belum dapat dipastikan. Tapi kita memang sudah menduga ada sesuatu di sana.”
“Kita sudah mengawasi tempat itu, tapi tak ada yang bisa kita lakukan. Tempat itu bersih.”
“Mungkin ini saatnya kita bertindak.”
Mereka berdua saling menatap selama beberapa detik. Lalu si pria yang berpakaian militer menganggukkan kepalanya kepada pria lain yang juga berpakaian militer.
“Laksanakan.” Pria itu menyahut seolah-olah tahu apa yang sudah diperintahkan atasannya. Dan iapun bergegas keluar dari ruangan.
“Terima kasih, Miss Dingell. Tenang saja, kami akan segera menyelidiki hal ini.” Kemudian si pria ber-jas menjabat tanganku, diikuti dengan pria yang satu lagi.
“Apa kami perlu mengantar Anda, Miss? Orang tua Anda mungkin sedang cemas, ini sudah larut. Kami bisa menjelaskan semuanya pada orang tua Anda.”
Aku melirik sekilas ke jam dinding. Ini sudah pukul 10 p.m. Gawat! Mom pasti sangat khawatir.
“Tidak, tidak perlu, Sir. Aku pulang sendiri saja.” Lalu dengan buru-buru aku keluar dari ruangan itu. Bertanya sebentar pada polisi yang berjaga di depan pintu ruangan itu jalan pulang, dan langsung ngebut ketika sampai di mobil.
***
Aku membuka pintu apartemen dengan gugup. Aku tahu, Mom pasti sedang menungguku. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Tadi pagi Mom sudah mengingatkanku agar tidak pulang terlalu sore. Dan memang, dari dulu sampai sekarang, orang tuaku tidak pernah memberiku jam malam. Bukan berarti aku bebas pergi pagi pulang malam. Sumpah, bukan itu. tapi sebaliknya. Aku tidak boleh keluar di atas pukul 7 p.m.
“Dari mana saja kamu?” sembur Mom ketika melihat aku masuk ke rumah. Rupanya dia memang sedang menungguku di ruang tamu.
“Oh, tadi aku makan malam dengan Sasha di McD, Mom.  Maaf.” Jawabku bohong.
Aku tidak berani membayangkan apa yang akan Mom lakukan bila tahu yang sebenarnya. Mom tipe pencemas. Kalau aku bilang padanya aku baru saja pulang dari kantor polisi. Ntah apa reaksinya nanti. Tapi yang pasti, reaksinya pasti akan heboh sekali.
“Tapi kenapa pulangnya selarut ini, Nak?” ooh, rupanya Daddy juga ikut menungguku. Dia duduk di samping Mom.
Dad juga tidak jauh berbeda dengan Mom. Hanya saja, kalau Dad sudah khawatir, dia akan mengeluarkan peraturan-peraturan yang bisa membunuhku pelan-pelan. Tidak seperti Mom yang biasanya hanya menangis saja.
“Well, kami terlalu asyik mengobrol hingga lupa waktu. Maklumlah, anak muda.” Aku berusaha keras menghilangkan nada bersalah di suaraku. Kini aku sudah dua kali berbohong.
“Tapi Honey, kenapa kau tidak menelepon akan pulang lama? Kau membuat kami cemas sekali. Anak Mom dan Dan hanya kamu seorang, Honey. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau kamu kenapa-napa...” Suara Mom bergetar. Berani bertaruh, sebentar lagi dia pasti menangis.
“Tenanglah, Mom. Aku sudah besar. Dan aku bisa jaga diri.” Dengan cepat aku berjalan ke kamar, berusaha mengacuhkan Mom dengan tangisannya dan juga tatapan Dad. Aku sebenarnya ingin sekali memeluk Mom, tapi aku bukan pembohong yang baik. Mom bisa menyadari ketegangan yang aku rasakan sekarang.
Aku berbalik sebentar. “Dan maaf. Aku lupa menelepon. Terlalu asik mengobrol.” Lagi-lagi aku berdusta.
Ku tutup pintu kamar, tanpa sadar aku menghela nafas yang panjang dan berat. Sesaat aku merasa berdosa karena telah berbohong pada orang tuaku. Tapi mau bagaimana lagi? Berbohong saja sudah membuat Mom hampir menangis, apalagi kalau aku mengatakan yang sejujurnya. Bisa-bisa Dad memutuskan untuk pindah lagi.
‘Kalau mereka sampai tahu kejadian hari ini...’
‘Hiii!’ aku tergidik sendiri.
Aku memang sudah terbiasa hidup berpindah-pindah. Dad yang seorang CEO perusahaan software memang sering dipindahtugaskan, mulai dari berkeliling wilayah Amerika sampai ditugaskan ke luar negeri. Sebelum pindah ke New York, kami sudah ntah berapa kali pindah tempat tinggal. Dan yang terakhir kali, kami tinggal di Indonesia. Tempat dimana ibuku lahir dan dibesarkan. Mom berasal dari Indonesia dan keturunan Indonesia asli.
Mom, Ayu Surya Ningsih, berkulit tanning yang cantik—yang juga ia wariskan kepadaku—tak hanya kulitnya, tapi secara keseluruhan, Mom memang sangat cantik. Wajahnya yang eksotis, rambutnya yang hitam indah, dan matanya yang selalu terlihat bersinar membuat dirinya terlihat sepuluh tahun lebih muda dari umurnya yang sebenarnya. Tidak heran kalau Dad jatuh cinta padanya. Mom memiliki perasaan yang sangat sensitif, cepat senang, cepat sedih, cepat terharu, cepat khawatir—untung dia tidak cepat marah—dan yang paling parah, Mom gampang menangis.
Sedangkan Dad, Edward Dingell, berkulit pucat, tinggi dan berbadan tegap. Kontras dengan Mom yang bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Yang paling aku suka adalah mata Dad yang biru dan juga rambutnya yang pirang benderang. Mata Dad selalu sukses membuat setiap orang terkesan. Dan dengan bangga dapat aku katakan kalau Dad termasuk ayah ter-sexy. Andai saja dia mau ikut ‘Kontes Ayah Terkeren’, aku berani bertaruh  dia pasti menang. Wajah Dad tidak kalah keren dari Tom Cruise maupun Brad Pitt. Daddy sosok yang sangat bijaksana dan melindungi, tegas dalam segala hal, dan sama seperti Mom, dia mudah sekali khawatir. Terutama kalau menyangkut aku dan Mom.
Dan aku, Clarissa Dingell, cewek tujuh belas tahun buah cinta dari pasangan yang baru saja aku jabarkan tadi. Secara keseluruhan orang-orang mengatakan kalau aku cantik, tapi menurutku tidak. Kulitku tanning tapi tidak segelap milik Mom, berambut pirang benderang seperti milik Dad—ralat, tidak terlalu pirang seperti miliknya—dan juga memiliki mata berwarna biru—yang kurasa juga tidak semenawan milik Dad.
Walaupun hidup berpindah-pindah sudah menjadi gaya hidup keluarga kami, bukan berarti aku siap untuk pindah—lagi. Tinggal di New York sudah menjadi impianku sedari kecil. Kota yang tidak pernah tidur—tidak penah sepi, selalu ada saja suara riuh bahkan di tengah malam sekalipun. Gedung-gedung tinggi pencakar langit di mana-mana, taksi-taksi kuning yang bisa kau temukan di sepanjang Kota New York, tempat hiburan bertebar dimana-mana, tempat-tempat belanja yang sangat menggiurkan dan orang-orang berpakaian chick yang dapat kau lihat dimana-mana bagaikan para model yang berjalan di catwalk. New York juga terkenal dengan surga belanja barang-barang bermereknya. Di sini memang tidak ada Mall seperti kota lain, tapi New York lebih lengkap dari Mall manapun. Semua jenis merek fashion terkenal seantero jagad ada di sini.
Sebelum aku pindah ke sini, kurang lebih aku sudah tahu bagaimana kehidupan di sini. Aku sering membaca tentang New York di majalah dan sudah bisa membayangkan bagaimana glamornya New York. Dan setelah aku pindah ke sini, semua yang aku lihat dan aku baca di majalah itu benar, bahkan lebih ‘hidup’ daripada yang kubayangkan sebelumnya.
Dan kalau Dad sampai tahu aku hari ini pergi ke kantor polisi, terlebih lagi karena aku mendengar percakapan transaksi narkoba itu, Daddy pasti akan membawaku keluar dari New York dan yang lebih parah lagi, dia bisa saja memasukkan aku ke sekolah asrama yang jauhnya beratus atau bahkan beribu-ribu mil jauhnya dari sini. Aku tahu sekali sifat Dad, dan itu adalah hal yang tidak mungkin tidak bisa dia lakukan.
***

hallo dunia

Hallo, nama saya Ferina. mahasiswa semester 6 di sebuah Perguruan Tinggi di Kota Medan. Saya hobi nulis, hanya saja belum ada media tempat saya berbagi tulisan dan pikiran. dalam blog ini, saya ingin berbagi keseharian saya maupun beberapa hasil tulisan saya.
Saya seorang dream higher. Senang sekali berandai-andai dan bermimpi hal yang ingin dan apa yang akan saya lakukan kelak. Untuk itu saya ingin berbagi imajinasi a.k.a khayalan saya pada readers semua.
Mohon komentar dan masukannya.